Dream - Pasien itu tergolek di atas dipan. Ini di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Stroke menjepit syaraf. Menghambat seluruh aliran tenaga. Dia agak susah bergerak. Dan itulah sebabnya anak dan istrinya melarikan dia ke rumah sakit itu. Itu tahun 1963. Dan lelaki di atas dipan ini adalah Bung Hatta. Lelaki yang sudah seperti nama belakang Soekarno. Dwitunggal yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, yang namanya selalu dibacakan tiap 17 Agustus. Saban tahun.
Pada tahun-tahun itu, faslitas di rumah sakit itu belumlah seperti hari ini. Penyakit Bung Hatta tak bisa ditaklukkan di situ. Harus diterbangkan ke luar negeri. Para dokter menganjurkan dia terbang ke kota Stockholm di Swedia, negeri yang masuk dalam tujuh negara dengan fasilitas kesehatan terbaik dunia, dan para lelakinya punya harapan hidup hingga usia hampir 80 tahun. Keluarga juga setuju.
Tapi bagaimana memikul biaya di negeri yang jauh itu. Bung Hatta bukan lagi pejabat negara. Gaji pensiun pas-pasan. Tak ada tambahan, selain daripada honor tulisan dan penjualan buku tulisannya sendiri. Keluarga berusaha sekeras hati.
Beruntung kabar soal sakitnya Bung Hatta, diketahui oleh Soekarno di Istana. Sang kawan, yang belakangan menjadi rival politik itu, datang menjengguk. Maka datanglah Soekarno ke Paviliun Cendrawasih pada suatu hari. Sebuah pertemuan mengharukan. Antara dua tokoh yang bersisian, tapi duet merekalah yang menyebabkan kita merdeka.
Soekarno kemudian memerintahkan sejumlah dokter Istana membawa Hatta ke Swedia. Ditemani Prof. Mahar Mardjono, Bung Hatta bertolak ke Swedia, dokter yang dianggap paling mumpuni. Seluruh biaya ditanggung negara. "Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta," titah Soekarno kepada Sekretaris Pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja, sebelum bertolak ke Swedia.
Di negeri jauh itu Hatta dirawat beberapa hari. Dan sembuh. Pria kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, itu kemudian diantar pulang. Dalam perjalanan pulang itu, Hatta mengetahui masih ada uang yang tersisa. Biaya pengobatan di Swedia ternyata tak sebesar yang disiapkan Jakarta.
Merasa tak berhak dengan sisa uang tersebut, Hatta memerintahkan Wangsa mengembalikan uang itu ke negara. Dia menegaskan bahwa uang itu adalah milik negara. Sebagai seorang mantan Wakil Presiden yang bersusah payah memerdekan negeri ini, negara pastinya takkan pernah meminta sisa uang transportasi itu. Bung Karno, yang jadi rival politik tapi berkawan bagai saudara itu, juga tak mungkin meminta.
Tapi Hatta sudah berkukuh. Pantang untuk menggunakan uang negara satu sen pun. Baginya, uang negara adalah milik negara. Bukan untuk dihamburkan untuk kesenangan pribadi.
Kisah sisa uang akomodasi Mohammad Hatta ini, dikenang banyak orang, bukan saja sebagai inspirasi tentang kejujuran, tapi juga rujukan tentang bagaimana mencintai negeri. Mulai dari sendiri. Dari cara kita memperlakukan uang negara.
Kejujuran, seperti yang dilakukan Bung Hatta, rasanya sudah jadi barang langka hari-hari ini. Terutama mereka yang memangku kekuasan. Hampir saban bulan, kita disuguhi tentang berita korupsi. Menteri yang tadinya gagah wibawa dengan jas, dalam hitungan bulan tersuruk berseragam tahanan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dan hampir putus asa kita menyudahinya. Mereka datang dari rupa-rupa latar. Ahli politik, profesor, bankir terhormat, tokoh partai, para pesuruh kantoran hingga sopir yang duduk di balik kemudi. Orang lalu menyindir bahwa mencuri uang negara kini jadi “budaya” baru. Wajah kita rusak di muka dunia.
Tengok saja data Tranparency International berikut ini. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sungguh membuat kita memalingkan muka. Malu. Indonesia ada di peringkat 107 dari 175 negara pada tahun lalu.
Pada 2013, skor IPK Indonesia sebesar 32. Ini tak beranjak dari nilai IPK setahun sebelumnya.
Jika tak ingin malu, jangan berani membandingkan Indonesia dengan negara tetangga. Masih kalah jauh dari dua negara tetangga yakni, Singapura dan Malaysia. Singapura berada di peringkat 7 dengan skor IPK 84. Malaysia berada pada peringkat 51 dengan skor 52. Skor Indonesia juga berada di bawah rata-rata skor negara-negara ASEAN, Asia Pasifik, dan G20.
Dadang Triasongko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII) menegaskan bahwa skor IPK Indonesia tahun 2014 yang hanya naik dua digit dari tahun 2013, adalah bukti korupsi masih membudaya di Indonesia.
Hasil survei persepsi masyarakat terhadap integritas Pemilu yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2013 menyebutkan, 71 persen responden menilai praktik politik uang merupakan hal umum yang terjadi di Indonesia. Bahkan, 92 persen responden menyatakan pemimpin atau politisi tersangkut korupsi sudahlah umum terjadi di negeri yang diwariskan dengan budi adiluhung ini.
Dan kita bukannya tak pernah melawan para pencoleng itu. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah bersusah payah. Sudah ada 480 korupsi yang perkaranya berhasil dibuktikan di pengadilan. Orang-orang penting itu, yang tersangkut korupsi berkali-kali masuk televisi dengan wajah yang gagah, meski beberapa di antaranya cenderung menutup wajah dengan apa saja, termasuk ditutup dengan stensilan ketika disorot kamera wartawan.
Tapi di tengah perilaku sejumlah elit yang memalukan itu, seungguhnya kejujuran seperti yang dilakukan Bung Hatta itu masih hidup. Carilah ke orang-orang biasa. Di jajaran kepolisian, jajaran kejaksaan, kehakiman, para politisi dan masyarakat biasa.
Bacalah kisah tentang Kaharoeddin Datuk Rangkayi Basa ini. Seorang pensiunan polisi dengan bintang satu di pundak. Kejujurannya mengugah hati. Berkali-kali didatangi rekan sesama jenderal, Kaharoeddin tak bergeming menerima tawaran berangkat haji. Bukan tak mau memenuhi panggilan Allah, Kaharoeddin malu jika harus menggunakan uang negara.
"Malu kalau naik haji diuruskan Kapolri," jawab Kaharoeddin ketika bertemu Jenderal Amir Machmud dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan. Kaharoeddin memang jenderal langka. Hanya segelintir saja jenderal seperti ini yang terlahir di tanah Nusantara.
Tak cuma korp kepolisian yang gagal merayunya. Tawaran berkunjung ke Tanah Suci dari Bupati Tanah Datar dan Walikota Padang juga sempat ditolak Kaharoeddin. Janji tak ada uang negara yang dipakai, meluluhkan hati Kaharoeddin oleh ajakan dua pejabat yang menganggapnya sebagai orang tua itu.
Cari juga kejujuruan itu ke rakyat jelata. Dari kuli bangunan hingga tukang becak. Dengan kehidupan yang serba pas-pasan, kejujuran menjadi barang langka bagi kelas masyarakat ini.
Kisah kejujuran muncul dari negeri Dubai, Uni Emirat Arab. Tanah di jazirah Arab yang pelan-pelan berubah menjadi kosmopolitan. Meninggalkan si miskin dan kaya dalam jurang yang makin lebar.
Shabbir Bahai Fakhr Al Deen begitu nama si kuli, adalah teladan bagi kisah kejujuran. Menemukan tas jinjing berkelir hitam yang tergeletak di pinggir jalan wilayah, Al Rashidiya, selatan Bandara Internasional Dubai menjadi bukti kejujuran Shabir.
Begitu resleting tas dibuka, Shabbir terkaget-kaget melihat tumpukan uang bernilai 50 ribu riyal. Jika dirupiahkan bernilai sekitar Rp 167 juta.
'Fulus kaget' itu rupanya tidak membuat Shabbir gelap mata. Meski tinggal kota kaya raya, di mana biaya hidup dan hedonisme kerap membuat orang permisif. Kekayaaan, kalau bisa, didapat dengan segala cara.
Tapi Shabbir menolak. Bukan cara seperti ini ia mendapatkan uang. Uang itu tak ditilep sepeser pun. Dia justru buru-buru mengembalikan uang tersebut ke polisi.
Cerita kejujuran juga datang dari Sinchuan, China. Seorang wanita pekerja biasa, Mu Ping, kaget karena mendadak saja rekeningnya bertambah 40 juta yuan atau Rp 1 triliun. Nanchong Commercial Bank tempatnya biasa menabung salah mentransfer.
Tapi Mu Ping tak gelap mata. Ketimbang menguras ATM, ia memilih mengembalikan uang salah transfer itu ke bank setempat. Hanya dalam 10 menit, uangnya kembali kempis.
Memang di zaman yang sudah begitu permisif dan materialis, Hatta, Brigjen Kaharoedddin, Shabbir dan Mu Ping adalah sedikit dari manusia langka. Kejujuran mereka membuat orang tergetar. Seraya berharap, teladan mereka akan menjadi pelajaran bagi kita semua.
sumber: Http://www.urbancult.net
Tahukah Anda "KEJUJURAN Orang yang MENDAMPINGI Ir. Soekarno Saat MEMPROKLAMASIKAN Kemerdekaan INDONESIA"
Dream - Pasien itu tergolek di atas dipan. Ini di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Stroke menjepit syaraf. Menghambat seluruh aliran tenaga. Dia agak susah bergerak. Dan itulah sebabnya anak dan istrinya melarikan dia ke rumah sakit itu. Itu tahun 1963. Dan lelaki di atas dipan ini adalah Bung Hatta. Lelaki yang sudah seperti nama belakang Soekarno. Dwitunggal yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, yang namanya selalu dibacakan tiap 17 Agustus. Saban tahun.
Pada tahun-tahun itu, faslitas di rumah sakit itu belumlah seperti hari ini. Penyakit Bung Hatta tak bisa ditaklukkan di situ. Harus diterbangkan ke luar negeri. Para dokter menganjurkan dia terbang ke kota Stockholm di Swedia, negeri yang masuk dalam tujuh negara dengan fasilitas kesehatan terbaik dunia, dan para lelakinya punya harapan hidup hingga usia hampir 80 tahun. Keluarga juga setuju.
Tapi bagaimana memikul biaya di negeri yang jauh itu. Bung Hatta bukan lagi pejabat negara. Gaji pensiun pas-pasan. Tak ada tambahan, selain daripada honor tulisan dan penjualan buku tulisannya sendiri. Keluarga berusaha sekeras hati.
Beruntung kabar soal sakitnya Bung Hatta, diketahui oleh Soekarno di Istana. Sang kawan, yang belakangan menjadi rival politik itu, datang menjengguk. Maka datanglah Soekarno ke Paviliun Cendrawasih pada suatu hari. Sebuah pertemuan mengharukan. Antara dua tokoh yang bersisian, tapi duet merekalah yang menyebabkan kita merdeka.
Soekarno kemudian memerintahkan sejumlah dokter Istana membawa Hatta ke Swedia. Ditemani Prof. Mahar Mardjono, Bung Hatta bertolak ke Swedia, dokter yang dianggap paling mumpuni. Seluruh biaya ditanggung negara. "Wangsa, jaga baik-baik Bung Hatta," titah Soekarno kepada Sekretaris Pribadi Hatta, I Wangsa Widjaja, sebelum bertolak ke Swedia.
Di negeri jauh itu Hatta dirawat beberapa hari. Dan sembuh. Pria kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat, itu kemudian diantar pulang. Dalam perjalanan pulang itu, Hatta mengetahui masih ada uang yang tersisa. Biaya pengobatan di Swedia ternyata tak sebesar yang disiapkan Jakarta.
Merasa tak berhak dengan sisa uang tersebut, Hatta memerintahkan Wangsa mengembalikan uang itu ke negara. Dia menegaskan bahwa uang itu adalah milik negara. Sebagai seorang mantan Wakil Presiden yang bersusah payah memerdekan negeri ini, negara pastinya takkan pernah meminta sisa uang transportasi itu. Bung Karno, yang jadi rival politik tapi berkawan bagai saudara itu, juga tak mungkin meminta.
Tapi Hatta sudah berkukuh. Pantang untuk menggunakan uang negara satu sen pun. Baginya, uang negara adalah milik negara. Bukan untuk dihamburkan untuk kesenangan pribadi.
Kisah sisa uang akomodasi Mohammad Hatta ini, dikenang banyak orang, bukan saja sebagai inspirasi tentang kejujuran, tapi juga rujukan tentang bagaimana mencintai negeri. Mulai dari sendiri. Dari cara kita memperlakukan uang negara.
Kejujuran, seperti yang dilakukan Bung Hatta, rasanya sudah jadi barang langka hari-hari ini. Terutama mereka yang memangku kekuasan. Hampir saban bulan, kita disuguhi tentang berita korupsi. Menteri yang tadinya gagah wibawa dengan jas, dalam hitungan bulan tersuruk berseragam tahanan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dan hampir putus asa kita menyudahinya. Mereka datang dari rupa-rupa latar. Ahli politik, profesor, bankir terhormat, tokoh partai, para pesuruh kantoran hingga sopir yang duduk di balik kemudi. Orang lalu menyindir bahwa mencuri uang negara kini jadi “budaya” baru. Wajah kita rusak di muka dunia.
Tengok saja data Tranparency International berikut ini. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sungguh membuat kita memalingkan muka. Malu. Indonesia ada di peringkat 107 dari 175 negara pada tahun lalu.
Pada 2013, skor IPK Indonesia sebesar 32. Ini tak beranjak dari nilai IPK setahun sebelumnya.
Jika tak ingin malu, jangan berani membandingkan Indonesia dengan negara tetangga. Masih kalah jauh dari dua negara tetangga yakni, Singapura dan Malaysia. Singapura berada di peringkat 7 dengan skor IPK 84. Malaysia berada pada peringkat 51 dengan skor 52. Skor Indonesia juga berada di bawah rata-rata skor negara-negara ASEAN, Asia Pasifik, dan G20.
Dadang Triasongko, Sekjen Transparency International Indonesia (TII) menegaskan bahwa skor IPK Indonesia tahun 2014 yang hanya naik dua digit dari tahun 2013, adalah bukti korupsi masih membudaya di Indonesia.
Hasil survei persepsi masyarakat terhadap integritas Pemilu yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2013 menyebutkan, 71 persen responden menilai praktik politik uang merupakan hal umum yang terjadi di Indonesia. Bahkan, 92 persen responden menyatakan pemimpin atau politisi tersangkut korupsi sudahlah umum terjadi di negeri yang diwariskan dengan budi adiluhung ini.
Dan kita bukannya tak pernah melawan para pencoleng itu. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah bersusah payah. Sudah ada 480 korupsi yang perkaranya berhasil dibuktikan di pengadilan. Orang-orang penting itu, yang tersangkut korupsi berkali-kali masuk televisi dengan wajah yang gagah, meski beberapa di antaranya cenderung menutup wajah dengan apa saja, termasuk ditutup dengan stensilan ketika disorot kamera wartawan.
Tapi di tengah perilaku sejumlah elit yang memalukan itu, seungguhnya kejujuran seperti yang dilakukan Bung Hatta itu masih hidup. Carilah ke orang-orang biasa. Di jajaran kepolisian, jajaran kejaksaan, kehakiman, para politisi dan masyarakat biasa.
Bacalah kisah tentang Kaharoeddin Datuk Rangkayi Basa ini. Seorang pensiunan polisi dengan bintang satu di pundak. Kejujurannya mengugah hati. Berkali-kali didatangi rekan sesama jenderal, Kaharoeddin tak bergeming menerima tawaran berangkat haji. Bukan tak mau memenuhi panggilan Allah, Kaharoeddin malu jika harus menggunakan uang negara.
"Malu kalau naik haji diuruskan Kapolri," jawab Kaharoeddin ketika bertemu Jenderal Amir Machmud dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan. Kaharoeddin memang jenderal langka. Hanya segelintir saja jenderal seperti ini yang terlahir di tanah Nusantara.
Tak cuma korp kepolisian yang gagal merayunya. Tawaran berkunjung ke Tanah Suci dari Bupati Tanah Datar dan Walikota Padang juga sempat ditolak Kaharoeddin. Janji tak ada uang negara yang dipakai, meluluhkan hati Kaharoeddin oleh ajakan dua pejabat yang menganggapnya sebagai orang tua itu.
Cari juga kejujuruan itu ke rakyat jelata. Dari kuli bangunan hingga tukang becak. Dengan kehidupan yang serba pas-pasan, kejujuran menjadi barang langka bagi kelas masyarakat ini.
Kisah kejujuran muncul dari negeri Dubai, Uni Emirat Arab. Tanah di jazirah Arab yang pelan-pelan berubah menjadi kosmopolitan. Meninggalkan si miskin dan kaya dalam jurang yang makin lebar.
Shabbir Bahai Fakhr Al Deen begitu nama si kuli, adalah teladan bagi kisah kejujuran. Menemukan tas jinjing berkelir hitam yang tergeletak di pinggir jalan wilayah, Al Rashidiya, selatan Bandara Internasional Dubai menjadi bukti kejujuran Shabir.
Begitu resleting tas dibuka, Shabbir terkaget-kaget melihat tumpukan uang bernilai 50 ribu riyal. Jika dirupiahkan bernilai sekitar Rp 167 juta.
'Fulus kaget' itu rupanya tidak membuat Shabbir gelap mata. Meski tinggal kota kaya raya, di mana biaya hidup dan hedonisme kerap membuat orang permisif. Kekayaaan, kalau bisa, didapat dengan segala cara.
Tapi Shabbir menolak. Bukan cara seperti ini ia mendapatkan uang. Uang itu tak ditilep sepeser pun. Dia justru buru-buru mengembalikan uang tersebut ke polisi.
Cerita kejujuran juga datang dari Sinchuan, China. Seorang wanita pekerja biasa, Mu Ping, kaget karena mendadak saja rekeningnya bertambah 40 juta yuan atau Rp 1 triliun. Nanchong Commercial Bank tempatnya biasa menabung salah mentransfer.
Tapi Mu Ping tak gelap mata. Ketimbang menguras ATM, ia memilih mengembalikan uang salah transfer itu ke bank setempat. Hanya dalam 10 menit, uangnya kembali kempis.
Memang di zaman yang sudah begitu permisif dan materialis, Hatta, Brigjen Kaharoedddin, Shabbir dan Mu Ping adalah sedikit dari manusia langka. Kejujuran mereka membuat orang tergetar. Seraya berharap, teladan mereka akan menjadi pelajaran bagi kita semua.
sumber: Http://www.urbancult.net
0 Komentar